Muaak
!!!! setiap kali aku mendengar denting jam yang menunjukkan kalau aku harus
segera meminum obat ini, obat yang entah sampai kapan akan terus aku minum
mungkin sampai penyakit ini telah lelah menggerogoti tubuhku yang semakin
kurus. Sejak dua tahun yang lalu beberapa dokter memvonisku dengan penyakit
yang sampai saat ini masih belum bisa aku terima – ataxia -, ini tahun ke tiga ataxia
ini bermukim di tubuhku dan ini tahun ketiga juga aku tidak pernah absen untuk
meminum obat ini.
“sayang,
mulai sekarang kamu tak perlu lagi nge-kos
supaya mama bisa terus mengontrol kondisi kamu nak” paksa mama dengan memelas.
“gak
mah, kalau selly harus bolak – balik rumah ke kampus itu bakalan bikin selly
nambah kecapean mah, belum lagi selly sudah memasuki semester akhir mah pasti
selly bakalan lebih sering buat bimbingan ketemu dosen mah” pinta ku
“tapi
saa. . .” belum selesai mama berbicara aku langsung memeluk mama
“mamah
percaya yah sama selly, selly bisa kok buat ngejalaninnya. Selly janji bakalan
selalu ngabarin mama setiap waktu, setiap akhir pekan selly juga bakalan pulang
kok mah dan sekarang mama cukup do’ain selly aja”
Mama
memelukku semakin erat saat aku tetap memaksa untuk tinggal di kosan dekat
kampusku. Dengan terpaksa mama mengijinkan aku untuk tinggal di kosan, ya aku
mengerti orang tua mana yang akan dengan senang hati mengijinkan anaknya
berjauhan disaat keadaan buah hatinya sedang tidak dalam kondisi terbaiknya,
belum lagi dengan penyakit yang sudah bermukim dua tahun lamanya ditubuh malaikat
kecilnya, tapi aku tak ingin terus – menerus melihat mama bersedih saat sakit
ini datang dengan tiba – tiba hingga membuat aku benar – benar tak berdaya, aku
tak ingin melihat mama secara diam – diam mengusap air matanya tanpa aku
ketahui, aku cuma ingin mama berhenti bersedih saat sakit ini menyerangku,
paling tidak mama tidak lagi tahu aku sedang berjuang merasakan sakit ini yang
bisa datang kapan saja.
Beruntungnya
aku karena Tuhan mengirimkan dua sosok sahabat terpenting dari sisa – sisa hidupku,
awal perkenalan kita tanpa disengaja tapi tentunya atas kesengajaan Tuhan yang
mengirimkan mereka buat menjaga aku terlebih dengan sakit yang aku derita
sekarang. Sore itu di depan perpustakaan kampus, aku melihat dua orang
mahasiswa dengan penampilan yang sok keren tengah asik berdebat mengenai
pertandingan liga champions malam tadi, sementara aku baru keluar perpustakaan
dengan santai langsung nyletuk
obrolan mereka sembari asik membolak – balikkan The Carpetcaggers-nya Harold
Robbins. Sadar ada sosok wanita dengan t-shirt & jeans birunya itu sedang
memperhatikan, mereka sontak tertegun. Aku cukup hafal apa yang ada didalam
otak mereka, pasti mereka akan bilang bagaimana mungkin ada gadis dengan novel
di tangan kanannya itu bisa mengerti tentang bola ?.
“hey,
gw Joe” sambil mengulurkan tangan untuk menjabat tanganku
“gw
Ari” dengan sigap menyingkirkan uluran tangan Joe yang belum sempat aku jabat
“hahaaa
kalian ini kenapa sih, mau salaman aja nyampe berebut gitu” tawaku penuh dengan
kepuasan tersendiri yang berhasil membuat mereka semakin berdebat, lalu aku berlalu
meninggalkan mereka.
Perpustakaan
menjadi tempat favoritku setelah aku dibuat pusing dengan seabreg tugas, aku
akan pergi ke tempat ini untuk sekedar merebahkan tubuhku dikursi sembari
membaca novel menghadap ke jendela yang kebetulan dibuat taman dengan warna –
warni bunga anggrek, dan entah kenapa sejak saat itu aku begitu mengagumi bunga
yang mempunyai nama latin Orchidaceae
itu. Siang ini perkuliahanku telah selesai, aku seperti biasa pergi ke
perpustakaan untuk meminjam beberapa buku sebagai refrensi tugas dari dosen. Mungkin
memang sudah ditakdirkan untuk bertemu lagi dengan dua “makhluk” itu hari ini,
bahkan di perpustakaan saja yang biasanya selalu sepi pengunjung entah kenapa
kali ini ramai dikunjungi oleh beberapa banyak mahasiswa yang ku perhatikan
sejak dari tadi tengah sibuk dengan alat hitung di tangan kirinya. Kali ini aku
masih tetap fokus mengerjakan tugasku, setelah mengambil beberapa refrensi dari
cabinet sastra sampai akhirnya aku dikejutkan oleh dua sosok itu lagi.
“ssstttt..
ssstttt.. sssttt” terdengar seseorang dari samping bilik meja yang aku tempati
yang kebetulan masih bisa terlihat oleh pembaca lain.
“kenapa
?” sahutku dengan sedikit berlalu karena aku tengah sibuk merampungkan cerpen
baruku.
“luh
cewe yang kemaren itu kan ?” Tanya sosok pria dengan sedikit kumis tipis dan
lesung pipi itu
“iyah,
ini gw” jawabku masih dengan mata menghadap monitor laptopku
“luh
belom jawab pertanyan kita kemaren, siapa nama luh ?” terdengar suara dari
bilik yang sama dengan suara yang sedikit cempreng,
Joe. Aku masih diam sibuk dengan jemariku yang tak henti memainkan keyboard
laptopku dan beberapa kali membetulkan kacamata minus ku.
“oh
jadi nama luh Selly, anak sastra yah?” cletuk Ari.
Sontak
mataku terbelalak melihat mereka, bagaimana bisa salah satu dari mereka tahu
namaku ?
“sok
tau luh!!” jawabku dengan penuh rasa kesal yang masih menyimpan tanda tanya
dari mana mereka mengetahui namaku.
“udah,
luh gak usah ngeles gitu, dari tadi gw merhatiin luh ngerjain tugas disitu luh
tulis nama luh dan diliat dari tuh tugas, itu pasti tugasnya anak sastra” jawab
Ari dengan penuh keyakinan. Sementara aku berlalu pergi meninggalkan mereka
tanpa pernah menjawab pertanyaan mereka.
Keesokan
paginya seperti biasa aku datang lebih awal untuk menyelesaikan beberapa
tulisanku yang akan aku kirimkan untuk beberapa harian Warta Kota minggu ini, sebagai mahasiswi yang tinggal jauh dari orang
tua aku memang berinisiatif sejak masuk kuliah untuk mengasah hobiku ini,
sekedar untuk membeli beberapa buku dan beberapa novel. Sebenarnya mama
melarangku untuk menjual tulisanku ke harian Koran itu dengan dalih mama lebih
dari cukup bisa membiayai semua kebutuhanku tanpa aku harus rela membagi waktu
istirahatku hanya untuk menyelesaikan tulisan yang akan aku muat. Tapi tetap
saja aku akan merengek memeluk mama dan mengecup pipinya dengan keyakinan
hobiku ini tak akan pernah mengganggu waktu belajarku, dan ini terbukti karena
di semester pertamaku aku berhasil mendapatkan nilai terbaik di fakultas Sastra
dan Budaya. Dan itu alasan yang cukup buat meyakinkan mama untuk aku tetap
menulis di harian Warta Kota sampai
sekarang.
Aku
melihat dua sosok itu lagi tengah sibuk memainkan gadget mereka dan sesekali mereka akan melihat ke jalanan seperti
sedang ada yang mereka tunggu tapi aku tak pernah berfikir kalau mereka sedang
menungguiku.
“shiiittt,
ngapain dua makhluk itu berdiri depan kelas gw ?” gumamku dalam batin.
Aku
tetap berjalan dengan santai menuju kelas, karena memang ada beberapa deadline
yang harus aku selesaikan hari ini sebelum jam makan siang. Tiba – tiba penglihatanku
menjadi kabur pandanganku semakin buram bahkan aku tak mendengar suara
sedikitpun dan akhirnya “buuuuuuggggggggg” aku pingsan dan cukup lama aku tak
sadarkan diri.
“Sell,
luh bangun donk sell” aku mendengar suara yang mirip dengan salah satu dari dua
orang yang aku temui di perpustakaan. Sedikit membuka mata dan memastikan suara
siapa yang sedang membisikkan “mantera” di telingaku. Dugaanku benar itu memang
suara orang yang belakangan ini aku temui di perpustakaan kampus, Ari.
“gw
dimana ?” tanyaku sambil melihat sekeliling ruangan yang memang kudapati banyak
obat – obatan dan ada beberapa alat kesehatan.
“luh
di klinik Sell, tadi pingsan terus kita yang bawa luh kesini. Gimana keadaan
luh ? luh gak papa kan ?” jawab Ari dengan nada sedikit cemas.
“oh
kalian yg bawa kesini, thanks yah. Gw gak papa ko. Kalian gak ada kuliah emang
kok jam segini masih disini ?” ucapku supaya mereka bergegas meninggalkanku.
“hari
ini kita gak ada kuliah Sell, kita sengaja ke kampus buat nyamperin luh soalnya
luh belom jawab pertanyaan kita kemaren” gerutu Joe dengan nada yang sedikit
kecewa karena sikap cuek aku terhadap mereka.
“sorry
yah, buat sikap gw kemaren sama kalian. Gw selly” ku ulurkan tanganku pada
mereka
“iya
gak papa kok, kita juga tau luh pasti bukan cewe sembarangan yang bisa ngasih nama
luh ke siapa aja kan” Ari membalas uluran tanganku dilanjutkan dengan uluran
tangan Joe. Dari kejadian itu lah yang menyebabkan dua makhluk itu menjadi
sahabat terbaikku sampai sekarang.
Awalnya
aku tak begitu mengerti apa yang membuat tubuhku sering tiba – tiba jatuh tanpa
sebab dan sering kehilangan keseimbangan, aku menganggapnya sebagai hal yang
biasa saja mungkin karena aku sedang terlalu lelah dan aku akan kehilangan
keseimbangan itu. Sampai akhirnya seorang sahabatku Joe memaksaku untuk
memeriksakan kondisiku ke dokter, tentunya tanpa sepengetahuan orang tuaku
karena aku berfikiran ini hanya kelelahan biasa yang wajar terjadi pada siapa
saja yang bisa membuat seseorang kehilangan keseimbangan.
“gw
gak mau tau, pokoknya luh mesti check segera Sell!!” bentak Joe saat aku tersadar
dengan posisi aku telah berada di tempat tidurku.
“gw
gak papa kok Joe” dengan nada yang masih terdengar lirih aku berusaha untuk
meyakinkan sahabatku.
“Sell!!
Ini bukan kali pertama luh jatuh di deket tangga kosan luh, ini udah kelewat
sering gw ngliat luh jatuh, tolonglah Sell kali ini aja luh dengerin gw kalau
luh emang nganggep gw sahabat luh. Gw gak mau terjadi apa – apa sama luh lagi,
gw mau ini kejadian terakhir luh jatuh” paksa Joe
“tapi
Joooo” ucapku sambil tetap meyakinkan kalau aku dalam keadaan baik – baik saja.
“pokoknya,
besok gw sama Ari bakalan nganter luh check up selesai kuliah. Dan kali ini luh
gak boleh bantah apa yang gw minta dan besok selesai kelas luh gak boleh kabur”
ancam kedua sahabatku. Dan kali ini aku benar – benar tidak bisa untuk bilang
tidak pada mereka. Mereka kembali ke rumah setelah memastikan keadaanku telah
benar – benar baik.
Pukul
satu siang perkuliahanku sudah selesai, dan harusnya aku segera bergegas dari
kelas untuk bertemu dengan kedua sahabatku yang memang kemarin telah
mengancamku untuk membawaku check up, tapi rasanya aku begitu takut bertemu
mereka mendengarkan langkah kaki mereka saja sudah membuat aku berkecucuran
keringat dingin, tidak seperti biasanya yang dengan santainya setelah keluar
kelas pasti aku langsung mendatangi mereka bahkan sebelum dosen keluar kelas
juga biasanya aku lebih dahulu “memporak – porandakan” mereka karena kebetulan
kita berada di fakultas yang bersebrangan. Aku yang sejak masih duduk dibangku
SMA memang menggemari dunia sastra Indonesia sementara Joe dan Ari mengambil
ekonomi.
Aku
berjalan lebih cepat dari biasanya untuk menghindari ajakan ke rumah sakit oleh
sahabatku, dari kejauhan aku mendengar seseorang berlari mengejarku sambil
memanggil – manggil namaku.
“Sell..
Sell.. Selly” Joe menepuk pundakku sambil mengatur nafasnya.
“luh
gk lagi mau ngehindar dari kita kan? Kita kan udah janji bakalan nganter luh ke
Rumah Sakit” ucap Joe
“eng.
.engga kok siapa yg mau kabur sih orang gw laper mau ke kantin dulu” bantah aku
mencari alasan.
“udah
makannya tar aja dijalan, tuh Ari udah nunggu di parkiran. Cepetan!!” Joe
menarik tanganku menuju parkiran mobil.
Perjalanan
menuju rumah sakit kita masih bisa bercanda seperti biasa, dan tentunya dengan kejailan
– kejailan mereka yang lebih banyak menghiburku karena sebenarnya dari tadi aku
sedang berusaha melawan sakitku. Tiba di rumah sakit aku langsung bertemu
dengan Dr. Gio (Ahli penyakit saraf dan saraf intervensi), sebelumnya Ari
memang sudah menjadwalkan bertemu dengan Dr. Gio supaya aku tidak terlalu lama untuk
mengantri.
Memasuki
ruangan yang serba putih, melihat sosok pria dengan kacamata minusnya. Kakiku gemetaran
saat melangkahkan kaki melihat senyum dari bibir tipisnya dengan lesung pipi
yang begitu nyata bahkan saat menyapaku saja aku bisa melihat lesung pipi itu,
matanya penuh ketulusan seorang dokter kepada pasiennya, usianya masih sangat
muda sekitar 25 tahun.
“Selly
yah ? silahkan duduk” sapanya dengan ramah yang aku rasakan tidak ada
kemunafikan dari tatapannya.
“iyah
dok, terimakasih” aku balik memberikan senyum terbaikku saat itu.
Setelah
aku menceritakan semua keluhanku, kemudian dokter melakukan pemeriksaan fisikku
dilanjutkan dengan CT-scan untuk membantu dokter menegakkan diagnose yang tepat
dengan sakitku ini. Pemeriksaan selesai, aku sedikit tidak yakin kalau aku baik
– baik saja, belum lagi sebelum melakukan pemeriksaan ini aku telah lebih dulu
untuk browsing tentang gejala – gejala yang aku alami belakangan ini.
“Selly,
hasilnya bisa diambil tiga hari lagi yah ? nanti bisa janjian langsung bertemu
dengan saya” Dr. Gio berhasil membuyarkan lamunanku
“bbb.
. baik dok, terimakasih yah dok sampai bertemu lagi” ku ulurkan tangan untuk
salaman. Sementara Joe dan Ari masih setia menungguku di Ruang Tunggu.
“wooooyyyyy”
aku sengaja mengagetkan mereka karena aku tidak ingin melihat ada kesedihan
dimuka mereka walaupun aku juga belum tau sebenarnya penyakit apa didalam
tubuhku.
“shiittt.
. luh mah gak tau orang lagi tegang apa” gumam Joe
“gimana
nyet hasilnya ? luh gak papa kan ?” tanya Ari
“iyeee
gw gak papa kok, hasilnya bisa diambil tiga hari lagi. Sekarang gw laper dan
kalian harus traktir gw makan karena gw udah ngrelain waktu gw buat dibawa
kesini. Gak pake ngeles lagi pokoknya titik.” Aku sedikit memaksa mereka.
Ari
berjalan menuju ke parkiran, sementara aku dan Joe menunggu di lobby rumah sakit.
Sore itu kami memutuskan untuk makan di tempat favorit kami daerah cikini,
memang sedikit lebih jauh dari kosanku yang berada di depok tapi aku tak pernah
memikirkan jarak saat bersama kedua sahabatku karena aku yakin mereka akan
menjagaku dan memastikan kalau aku aman saat bersama mereka.
Bersambung. . . . .